Assalamualaikum...
Khaifa Haluk nih. moga tetep sehat en senantiasa ingat pada sang pemberi kesehatan. Ehmm.. hari ini kita bakalan ngobrolin dikit about tulmenul alias Tulis Menulis. suka nulis nggak? suka ya...???!!! harus suka..! soalnya nulis tuh asyik banget. PS3 aja kalah pokoknya. pengen nulis tapi nggak bisa... kata siapa? dari TK loe semua kan uda pada diajarin tuh menulis. ini Budi, ini bapak Budi, ini laptop Budi, Budi Nggak pernah mandi... inget kan pelajaran keluarganya Budi? jadi nggak ada alasan buat NGGAK BISA nulis..!! Tapi kan aku bingung mo nulis apaan? lha gitu aja kok dipikirin. Ya pokoknya yang bisa kamu tulis, tulis aja. Misalnya ne, peristiwa yang loe alami satu jam yang lalu, "Gue tadi abis maen ujan-ujanan. en sekarang gue masuk angin. gue cuma pengen sembuh trus bisa ujan-ujanan lagi..." semuanya deh pokoknya. mulai dari aktivitas sehari-hari ampe sebulan-bulan. terserah. mo nyari alasan apalagi? g punya Pulpen? Kertasnya abis?, kan ada laptop ato komputer, tinggal maenkan kesepuluh jarimu di atas keyboard. Entah yang jadi apaan nantinya, pokoke nulis. o ya, ne gue punya seupil Karya yang nggak bermutu yang nggak wajib dikagumi. namanya juga belajar. jadi ya belum sempurna. selamat Membaca..............^^
Nayla, Amanah Terindahku..
Hari ini angin rindu datang berhembus, menggugurkan daun-daun yang sudah menguning. Titik air di ujung daunnya pun akhirnya terjatuh setelah sekuat tenaga ia bertahan untuk tidak pecah. Tapi ternyata semua ada batasnya. Tak ada yang abadi. Begitu juga dengan rindu ini. Tak akan lama bersembunyi dalam gua hati.
Dunia seperti berputar kembali, menayangkan rekaman saat-saat aku bersamanya. Masa dimana saat aku merasakan sayang dan perhatiannya, yang terus menerus mengalir seolah tak kenal muara. Ciuman hangat di tanganku yang tak pernah lupa ia berikan saat aku akan berangkat bekerja. Keningnya yang lembut selalu ia relakan untuk ku kecup sebagai tanda cintaku padanya. Suara lembutnya saat hati ini dilanda kegundahan. Dengan sepenuh hati kubentangkan dadaku untuk tempatnya bersandar kala sakit menyerang tubuhnya, atau saat ia banyak pikiran terhadap persoalan dunia.
Teringat pada suatu senja, ketika aku akan memulai hidup tanpa ada seseorang yang dekat di sisiku. Hari itu, adalah hari terakhir aku bersama dengannya sebelum kami berpisah. Pesan dan nasehat pun mengalir dengan suaranya yang tetap lembut. Sampai akhirnya detik itu datang juga, saat ku rengkuh tangan lembutnya, kemudian mengecup keningnya dengan penuh rasa cinta, dia membalasnya dengan kecupan di tanganku, seakan tanda bahwa rasa sayangnya melebihi kekhawatirannya meninggalkanku. Dalam ku rasakan deburan cintanya yang kuat dan tulus. Membuat air mata ini ingin segera menumpahkan segala yang dipunya. Tapi itu tak kulakukan di depannya. Aku harus tunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Mencoba tegar seperti yang ia harapkan.
“Bang, Kalo seandainya dititipkan pada abang sebuah amanah yang benar-benar harus dijaga, apa yang abang lakukan?” tanyanya suatu ketika.
“Pastinya akan abang jaga sebaik mungkin. Melindungi dan merawatnya semampu abang”, Jawabku.
“tapi, jika abang terlalu mencintai amanah itu, apakah abang rela untuk mengembalikannya jika sang pemilik berkehendak untuk mengambilnya?”.
“Insya Allah abang berusaha tak akan berlebihan untuk memberikan sebuah cinta pada sesuatu yang hanya sementara Nay. Karena yang abang inginkan adalah cinta yang terus tumbuh dan mengalir tiada henti berikan kesegaran dalam setiap dahaga. Karena cinta adalah untaian permata yang berkilau indah sebagai anugerah tiada tara hingga mampu menebar pesona jiwa dalam sebuah keindahan. Dan hanya Mahabbah Fillah, sebaik-baik cinta. Cinta terdepan yang harus kita miliki dalam penghambaan pada-Nya.”
“Semoga cinta ini selalu dalam RidhoNya ya bang. Mudah-mudahan abang tak akan lelah dalam membimbing Nay untuk senantiasa tegar hadapi setiap jengkal kehidupan. Ajari Nay untuk jadi seorang istri yang baik. Yang bisa membahagiakan abang di dunia dan akhirat”, Nay memelukku dengan linangan airmata yang jatuh basahi dadaku.
Nay. Sampai saat ini aku belum bisa melupakannya. Sudah 6 bulan sejak kepergiannya, aku masih saja terbayang akan dirinya. Enam bulan yang lalu aku menikahinya, dengan mahar sebuah Al-Quran yang kini telah tinggal di rak buku diruang tamu. Nay sering membacanya. Setiap kali aku rindu padanya, kuraih Al-Quran bersampul kuning keemasan itu dan membacanya.
Pernah suatu ketika, saat aku baru pulang kerja, Nay telah berdiri di ambang pintu dengan senyuman terindah yang selalu kurindukan setiap detiknya. Ada apa ini? pikirku. Tidak biasanya dia menantiku pulang kerja seperti ini. Menanti juga biasanya di dalam. Atau mungkin hanya perasaanku saja?.
“Assalamualaikum..”
“wa’alaikumsalam”, jawabnya seraya mencium tanganku.
“ada apa nih?, Kok tumben menanti pangerannya di luar. Biasanya sang putri hanya menunggu di dalam istana dengan tatapan rindu akan kedatangannya”, candaku. Nay hanya tersenyum dan tersenyum menatapku ditambah cubitan kecil di lenganku.
“ih..GR ya abang nih. Memangnya kenapa kalau sang putri menunggu pangerannya diluar?” sahutnya tak mau kalah.
“Kalau ada sang naga yang lewat gimana coba?” kejarku
“udah-udah. Untung sang putri tahu kalo pangerannya sedang capek, jadi sekarang pangerannya mandi dulu biar nggak bau, setelah itu sholat, terus makan malam deh”. Nay menatapku, meraih tasku dan membawanya ke dalam kamar.
Kulihat di meja makan telah dihidangkan makanan kesukaanku, dan agaknya di dalam kamar juga tampak sedikit beda dengan sprei yang telah diganti serta korden yang terpasang rapi. Seluruh bagian rumah terlihat bersih. Setelah selesai mandi dan sholat maghrib aku langsung melesat kemeja makan. Nay telah menungguku disana.
”Kok senyum aja sih dari tadi?”, ku coba menegurnya. Nay hanya bisa tertawa kecil. ”Nggak pa pa. Pingin sedekah aja. ehmmm...”
Dari seberang meja makan kupandangi istriku itu. Jilbab telah menutupi dirinya. Warnanya yang kalem sangat pas dengan wajah sendunya. Ehmm.. dia masih dengan pendiriannya. Subhanallah.
“Abang baru inget, setahun yang lalu abang nikahin kamu ya? Pantes dari tadi senyum terus. Abang nggak minta dirayain lho. Dari pada ngerayain yang kayak gitu-gitu, mending pijetin abang nih, abang capek banget hari ini.
“ehmmm… dasar abang nih, manja”
Itu adalah saat terakhir nay merayakan ulang tahun pernikahan kami. Ternyata Allah telah menghapus sedikit rencana yang telah kutulis dalam hidupku. Dia mengganti dengan rencanaNya yang lebih baik yang mungkin tidak kuhendaki. Allah mengambil Nay dalam sebuah kecelakaan yang terjadi keesokan pagi, sehari setelah ulang tahun pernikahan kami. Aku tak bisa membayangkan semua ini. Tuhan, ternyata cinta begitu dekat denganku. Telah kau uji cinta ini dengan mengambil amanah itu. Amanah yang sempat mengisi celah hatiku dengan kasihnya yang tulus. Amanah yang ternyata tak mampu kulepas begitu saja. Mungkin ini kesalahanku yang telah sedikit berlebih berikan cinta padanya. Ampuni hamba yang telah terlupa bahwa cinta padaMu adalah yang utama. Perkataan memang sangatlah mudah terucap namun amalannya belum tentu kan mampu terlaksana. Berikan hamba ketegaran ya Rabb. Ketegaran bahwa semua ini adalah sebagian dari rencanamu. Rencana terbaik yang kau tuliskan untukku. Amanahmu adalah nikmat terindah yang pernah kuterima. Karenanya aku bisa menikmati indah dunia-Mu. Karenanya aku menemukan diriku. Karenanya aku merasa mempunyai arti dalam hidup ini. Karenanya aku mengenal-Mu. Karenanya pula aku terbiasa mambaca surat-surat cinta-Mu dan mengajariku untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.
Langit hari ini masih cerah. Tapi siapa sangka jika hujan akan datang. Meski tidak begitu deras, tapi mampu melepas dahaga sang tanah yang memang haus akan air, cukup untuk membuat suasana terasa lebih segar. Mencerahkan kembali fikiran-fikiran yang kalut terhadap berbagai masalah. Titik air yang sempat tertahan di ujung daun pun jatuh tepat di atas kepalaku, menyadarkanku dari lamunan sesaat di cerahnya pagi ini. Aku berusaha untuk tak hanyut dengan masa lalu yang membuatku lumpuh. Aku harus tegar seperti kata nay.
“oh ya nay, hari ini abang sedang cuti kerja. Jadi mumpung masih pagi, abang sempatkan untuk kesini. Bagaimana kabarmu disana?. Maaf ya nay, kemarin lusa abang tidak sempat ke sini. Ada sesuatu yang ibu rencanakan buat abang. Kamu tahu nggak, ibu akan menjodohkan abang, nay. Padahal abang belum bisa menggantikanmu dengan orang lain. Hati abang mungkin terlalu lembut kali ya, nggak seperti pria-pria lain yang begitu mudahnya nikah lagi setelah ditinggal istri. Abang nggak tahu nay harus bilang apa. Abang nggak ingin mengecewakan siapa-siapa. Abang nggak ingin saat abang menikah, abang hanya akan menjadikannya sebagai alat untuk melupakanmu nay. Abang ingin hati ini benar benar bisa mencintainya seperti pertama kali abang berikan cinta ini untukmu. Menurutmu gimana nay? Kamu nggak cemburu kan..? Oke deh, abang janji nggak akan mengecewakanmu. Abang akan belajar mencintainya seperti abang mencintaimu. Rencananya sih besok abang akan pergi melamarnya. Semoga semuanya lancar ya nay. Abang pulang dulu. Besok ke sini lagi kok. Nanti kalo memang abang diterima dan jadi menikah dengannya, abang akan bawa dia kesini untuk menemuimu.
Setelah meletakkan bunga-bunga yang kubawakan untuknya, aku beranjak dari tempatku dan mulai pergi menjauhi pusara itu. Kembali dengan kesendiriannya yang hanya ditemani sepi dan kesunyian. Kulihat jam di tanganku, 07:25, kusempatkan untuk mampir ke pasar yang memang satu arah menuju rumahku, membelikan beberapa makanan untuk ibu dirumah.
***
“Hasyim, gimana, sudah siap kan?”, Ibu meyakinkanku.
“Insya Allah Bu..”, ku mencoba memantapkan hatiku.
“Jangan sampai telat. Kita nanti berangkatnya jam Sembilan. Semua keperluannya sudah ibu siapkan”.
“Bu, bolehkah aku minta izin sebentar?, Aku ingin pamitan sama Nay. Soalnya kemarin aku sudah janji mau kesana?”, kataku.
Ibu tersenyum, “Kamu ini, belum bisa melupakannya juga ya?. Nay memang beruntung mendapatkanmu Hasyim. Cintamu padanya begitu kuat terpatri sampai-sampai mautpun tak mampu memisahkannya. Tapi ingat, tetap jadikan cinta kepada Allah sebagai cinta yang utama. Karena bagaimanapun juga, kita hidup berkat cintaNya, kamu bisa menikah dengan Nayla juga karena Allah ingin kamu merasakan cintaNya. Allah jadikan Nayla sebagai jalanmu untuk meraih MahabbahNya. Allah mengambilnya itupun juga karena Allah cinta terhadap kalian. Lagipula sebentar lagi kamu akan memulai kehidupan yang baru. Jadi gunakankan masa lalumu itu sebagai sebuah pelajaran berharga untuk menjalani kehidupan barumu ini. Masalah dan ujian memang akan senantiasa ada didepan kita, namun yakinlah, justru dengan semua itulah kita bisa makin kuat dan dewasa.
“Terima kasih bu, nasihatmu adalah kalimat terindah yang pernah Hasyim dapatkan. Dan akan senantiasa Hasyim butuhkan di setiap langkah sebagai perbaikan diri untuk jadi yang terbaik”. Aku tersenyum dan memeluknya.
***
“Pagi yang indah ya Nay.., seandainya saja kamu bisa merasakannya di sini bersamaku pasti akan lebih indah. Nay, sebentar lagi abang mau berangkat kesana, melamar seseorang yang akan menggantikanmu buat tinggal di hati abang. Semoga abang bisa menjaganya ya?. Nay, saat ulang tahun pernikahan kita yang pertama, abang baru bisa membacanya 2 hari setelahnya. Surat spesial yang kau berikan buat abang. Maaf ya?. Isinya yang luar biasa membuat abang tidak menyesal menikah denganmu. Abang sangat bahagia walaupun hanya sesaat kau temani kebahagiaan itu.
Assalamualaikum,
Teruntuk Bang Hasyim, Suamiku yang dicintai Allah
Sungguh beruntung aku bisa menikah denganmu suamiku. Tak semua wanita merasakan kebahagian yang kurasa saat mendapatkan Lamaran darimu. Kau seperti Pangeran yang di perintahkan untuk menjemputku yang telah lama menunggu. Menunggu saat-saat bahagia untuk bisa bersamamu. Saat itu aku hanya mampu mendengar percakapan hangat itu dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Ya, aku rasa adalah hal yang wajar bila setiap orang tua ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan ya, memang untuk hidup di jaman sekarang, pekerjaanmu yang tidak tetap mungkin tidak bisa mencukupi hidup kita nanti. Maklumlah, kau baru lulus kuliah. Tapi kau percaya, insya Allah, Allah akan memudahkannya. Sempat kututup telingaku saat suara ayahku mendominasi percakapan hari itu.
Aku hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku sia-sia. Dan untuk tidak menjadi isteri seorang yang shalih sepertimu adalah suatu kerugian bagiku. Namun tak lama ibuku datang ke kamarku dengan terseyum dan menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku terlalu lama hingga aku tak menyadari bahwa saat itu dirimu tengah memberi pengertian pada ayahku dan akhirnya meyakinkan beliau.
Seminggu pertama kita masih tinggal bersama orang tuaku, karena rumah yang akan kau kontrak baru bisa ditempati setelah seminggu itu. Ya, rumah ini. Kau sangat sibuk seminggu itu. Entah apa yang kau kerjakan, tapi kau terlihat sangat khawatir dan berkata padaku, “Nay, di rumah itu.. nggak ada apa-apanya..”, kau menatapku sendu.
Ku coba untuk meyakinkanmu akan kekhawatiran yang kau rasakan, karena itu semua tidaklah penting buatku. Seperti yang pernah kukatakan padamu saat itu, Asalkan ada ember agar aku bisa mencucikan bajumu, asalkan ada paku dan tali biar aku bisa menjemur, Asalkan ada api agar aku bisa memasak untukmu, asalkan ada alas buat kita tidur walau hanya selembar kain, dan sebuah sapu agar rumah kita bisa tetap bersih Insya Allah itu tak masalah buatku. Karena sejak Ta’arufmu dulu, kau telah mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti dan aku telah menyatakan kesiapanku untuk menghadapi apapun bersamamu.
Suamiku..
Saat aku tiba di sini, setelah seminggu kau tak mengizinkanku untuk melihatnya, Subhanallah.. ruang tamu mungil dengan perabotan terbuat dari rotan yang cukup untuk diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa kulihat di rumahku menjadi penghalang ruang tamu dengan ruang makan. Rak itu dibuatkan khusus oleh Ayah untukku karena beliau tahu bahwa aku hobi membaca, dan sekarang rak itu ada di sini di kontrakan kita yang baru. Kulihat di dapur telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan mertuaku, Dikamar tidur ternyata telah ada sebuah tempat tidur dan lemari baju. Di tempat mencuci juga sudah ada ember dan gayung.
Aku masih ingat saat kau berkata, “maaf ya Nay, abang lupa buat beli paku sama tali buat jemurannya..”, ehmm.. Soalnya kukira rumahnya benar-benar tidak ada apa-apanya.
Kemarin aku memang sengaja menunggumu pulang kerja, karena ada sedikit perasaanku yang kurasa tak menentu. Kadang terpikir dibenakku, kau takkan pulang. Jika kau tak pulang, aku tak bisa menatap wajahmu dari ambang pintu. Dan saat itulah aku merasa sangat khawatir terhadapmu. Khawatir jika ada sesuatu yang membuatku tak bisa bertemu denganmu lagi untuk yang terakhir kali. Saat kita makan malam, kau melihatku lekat dengan kedua mata beningmu, dan saat itu mata kita bertemu. Kupandangi dirimu dengan baju koko yang kau pakai. Wajahmu yang kalem terlihat tenang dan damai. Hanya jenggotmu saja yang kian lebat. Hmmm..kau masih dalam pendirianmu. Subhanalah.
Suamiku, apakah aku terlalu mencintaimu? Itulah yang kutakutkan. Aku takut cinta ini berlebih sehingga sang Pemilik cinta Cemburu dan akan mengambilmu dariku. Ajari aku untuk memaknai semua ini suamiku. Ajari aku untuk jadi istri yang baik yang mampu mengantarkanmu melewati seiap ujian hidup. Menjadi Partnermu dalam setiap suka dan duka. Karena dulu yang kupinta pada Allah hanyalah Seorang suami yang sholeh, yang mau berusaha, optimis dan tawakal. Jadi apapun yang terjadi, seperti apapun keadaannya, asalkan ada kau bersamaku hidupku sudah lengkap.
Suamiku, Bila pagi datang aku masih berharap dapat memandangmu
Bila malam datang aku masih berharap dapat memimpikanmu
Bila ada yang menjadi harapanku ku ingin selalu bersamamu menemanimu
Karena....
Aku sangat mencintaimu...
Aku sangat menyanyangimu....
Engkau datang memberi sentuhan baru dalam hatiku...
Mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan..
Membuka lembaran baru dalam hidupku...
Memberi kenangan baru dalam hidupku...
Membimbingku tuk berusaha jadi pendamping yang baik di hidupmu..
Semoga Allah Meridhai setiap langkah kita..
Istrimu, Nayla..
Genangan air dimataku masih sempat untuk kutahan agar tak keluar. Aku tak ingin semua ini menjatuhkanku. Sekali lagi ku mantapkan hatiku bahwa semua ini adalah rencana indahNya untukku. Kulipat surat itu dan kumasukkan ke dalam saku.
“Terima kasih atas do’amu untukku Nay..”
Aku bergegas pulang karena memang aku tidak ingin berlama-lama di situ. Aku tak ingin hatiku bimbang untuk kesekian kali. Aku ingin melengkapi lukisan hidupnya, menjadi lukisan yang sempurna. Dengan tinta kasihnya yang sempat tersimpan di hatiku kan kutorehkan dalam kanvas kehidupanku bahwa dirinya adalah Mawar terindah di taman Surga.